Sabtu, 20 Agustus 2011

Pendidikan Berkarakter; Melalui Alternatif Pembelajaran Berbasis Local Wisdom Sebagai Upaya Perbaikan Bangsa

 
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan di segala hal termasuk perilaku, sikap dan perubahan intelektualnya. Pendidikan sebagai usaha untuk membantu mencapai kedewasaan pola pikir dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju dengan cepat, yang cenderung tak terkendali, bahkan hampir-hampir tak mampu dielakkan oleh dunia pendidikan.
Seiring dengan perubahan dunia yang begitu mencekam dan telah di dominasi oleh sistem kapitalisme, menyebabkan dehumanisasi sebab meletakkan pendidikan sebagai komoditas untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan
keuntungan.[1] Dalam hal ini, sistem pendidikan di era kekinian lebih banyak dibangun atas dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”. Melihat realitas pendidikan yang cenderung liberatif diperlukan dasar penanaman nilai yang kuat untuk membentengi moralitas peserta didik.
Tantangan globalisasi yang menggurita hingga dalam ranah kebijakan pendidikan menjadi semakin terasa, sehingga perlunya manusia dibentengi dengan nilai-nilai luhur agama, mengingat pengaruhnya yang besar terhadap manusia. Pengesampingan  unsur jasmani dan rohani dapat menyeret manusia pada kelalaian, kealpaan, dan lupa yang disebabkan oleh kesibukan-kesibukan sehingga manusia butuh pendidikan. Dari realitas kekinian pendidikan nilai menjadi sangat diperlukan untuk kemajuan pendidikan, karena sekarang pendidikan hanya difokuskan pada kognitif saja, seperti yang diungkapkan Djohar bahwa pendidikan moral hanya sebatas moral kognitif bukan moral learning.[2] Apalagi di era globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia dalam kemudahan. Ilmu yang telah digelar oleh Allah lewat ayat-ayatnya (qouliyah dan qouniyah) memang dipersiapkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia artinya memenuhi dorongan asasi manusia yaitu keingintahuan (curiosity) terhadap segala sesuatu (realitas).
Perilaku kehidupan pada era informasi ini juga telah merambah kehidupan domestik dan personal. Maraknya kasus-kasus perceraian, pengunaan obat-obat terlarang, depresi, psikopat, skizofrenia dan bunuh diri yang di sebut oleh Frijof Capra sebagai “penyakit-penyakit peradaban”. [3] Ternyata perkembangan sains dan teknologi yang spektakuler pada abad ke-20 tidak selalu berkorelasi positif dengan kesejahteraan umat manusia.
Persoalan krisis global semakin kompleks dan multidimensional salah satu masalah serius yakni kerusakan ekologi atau lingkungan hidup[4], telah menjadi isu global yang melibatkan cara pandang manusia modern terhadap alam. Alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus dinikmati semaksimal mungkin. Memang dominasi terhadap alamlah yang menyebabkan masalah bencana, lahan semakin sempit, kurangnya ruang bernafas, pengurasan jenis sumber alam, hancurnya keindahan alam.
Dominasi atas alam dan konsepsi materialistik tentang alam yang dianut manusia modern ini telah didukung dengan nafsu dan ketamakan yang semakin banyak menuntut lingkungan.[5] Semua ini dalam pandangan filosofis akibat dari cara pandang yang dualistik-mekanistik dan materialistik[6]. Cara pandang ini menyebabkan terjadinya dikotomik atau diversitas (pembedaan) seperti; subyek-obyek, manusia-alam, manusia-Tuhan, suci-sekuler, timur-barat. Cara pandang dikotomik ini menyebabkan tidak harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam yang telah dihancurkan. Semua ini terkait dengan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh hancurnya harmoni antara Tuhan dan manusia.

Model Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Ditengah maraknya pendidikan yang memberikan taraf untuk menjadi daya tarik, sehingga menjadikan lembaga sekolah bisa memberi tarif untuk mendapatkan untung (red- komoditas bisnis), maka harus ada benang merah untuk menjembatani realitas global yang semakin materialistic. Modernisme sendiri menjadi masalah kolektif dan afeknya mengikis budaya lokal menjadi kebarat-baratan, di pendidikan sendiri mengalami dekadensi dalam perannya sehingga harus ada alternatif yang solutif. Untuk menilik dari apa yang akan diketengahkan dalam pembahasan kali ini, sebelumnya penulis mencoba membahas sedikit dari arti kearifan local itu sendiri.
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat diartikani sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang atau pribadi dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom juga sering diartikan sebagai wujud dari makna ‘kearifan/kebijaksanaan’.
Local sendiri juga bisa dimaknai secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Didalamanya terjadi pola interaksi yang sudah terdesain dalam sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Mengurai dari sedikit penjelasan tentang aras kearifan local, saya mencoba membidik pada sisi peran pendidikan dalam ranah kelembagaannya untuk diulas. Tanpa mengesampingkan dari berbagai sudut pandangnya dari sisi model pendidikan menjadi menarik bila diketengahkan sebagai bidikan kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam diskripsi dari suatu sistem yang disederhanakan agar dapat menjelaskan. Model pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal merupakan satu tawaran yang masih bisa diketengahkan sebagai satu alternatif solusi ditengah tekanan liberalisasi kebijakan, hal ini sebagai upaya untuk meletakkan dasar-dasar filosofi pendidikan yang sejati, yaitu bahwa pendidikan tidak terpisahkan dari masyarakat.
Pendidikan yang sejati berfungsi membangun karakter individu agar sesuai dengan nilai-nilai kearifan yang menguri-uri tradisi kebudayaan disekitarnya. Oleh karena itu perlu dikaji ulang untuk kembali kepada makna, esensi, dan filosofi pendidikan nasional itu sendiri, karena pendidikan tidak lepas dari pembelajaran yang mampu menghidupkan kreatifitas, sehingga mampu menjadi representasi terampil dan aktif.
Disinilah yang menjadi titik tekan dari pendidikan sendiri, sehingga apa yang diharapkan agar terjadi proses transformasi dan akulturasi ilmu dan kebudayaan dapat berjalan dan bersanding.  Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Tanpa proses pendidikan tidak mungkin kebudayaan itu berlangsung dan berkembang. Sehingga dapat diartikan pendidikan sendiri merupakan proses pembudayaan.
Melihat begitu kuatnya peran pendidikan sebagai proses pembudayaan, maka pendidikan juga harus berakar pada nilai. Nilai sendiri harus berawal dari agama dan kebudayaan local, bahkan di lembaga sekolah sekarang ada upaya untuk mengembangkan muatan lokal yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan potensi lingkungan sekolahnya, sehingga sekolah memiliki ciri khas sebagai keunggulannya.
Secara tidak langsung kalau kita mengamati pendidikan dalam kekinian diperlukan kurikulum yang integral agar bisa menjembatani antara kebutuhan modern karena zaman yang begitu liberatif tetapi tetap berakar pada kearifan local. Kearifan local ini adalah budaya atau tradisi budi pekerti yang menjadi karakter. Sehingga pendidikan dan pembelajaran menjadi satu sinergi yang mampu mencipta kreasi.
Untuk mengurai permasalahan bangsa yang dihadapi demikian kompleks,diperlukan pendekatan multidimensional dan multijalur. Tak cukup hanya dipecahkan dari sudut ekonomi seperti yang selama ini. Hal ini perlunya pengembangan pendidikan karakter bangsa berbasis kearifan lokal penting untuk dikaji untuk menggali nilai-nilai lokal yang bisa dijadikan sebagai muatan pendidikan karakter.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Alternatif Pembelajaran
Pembelajaran sering di istilahkan dalam mendefinisikan tentang transformasi pengetahuan. Hal ini sering dikaitkan dengan guru dan murid, apalagi kalau bukan melegitimasi bahwa guru menjadi sumber prioritas belajar. Proses merupakan suatu perubahan yang dilakukan secara continue, menjadi penting bahkan menjadi permanen dalam memberikan timbal balik atas perubahan kemampuan manusia dan diikuti oleh sikap dan perilakunya. Begitu juga dengan belajar, seharusnya mampu menghasilkan perubahan perilaku anak didik dan guru adalah pelakunya untuk mengeksplorasi potensi menjadi maksimal sesuai dengan fitrahnya. Untuk mencapai perubahan pada lembaga pendidikan diperlukan kontrol dan gebrakkan sistem yang membutuhkan waktu lama.
Pembelajaran sendiri bukan dimaknai sebagai pengetahuan ansich yang dikenalkan melalui kelas-kelas formal. Bila ditelisik dalam realitasnya sekolah konvensional cenderung pakem sehingga tidak membebaskan “menjadi penjara”, yang memisahkan anak didik dari dinamika persoalan sosial masyarakat nyata. Semakin lama bersekolah semakin jauh pula dirinya dengan ralitas sosial. Fenomena ini menjadi perhatian bersama bahwa hasil perbincangan yang diketengahkan sekarang yakni tentang penanaman nilai dalam sekolah cenderung materi oriented. Sehingga anak didik kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Pola pendidikan lama yang bersifat tradisional inilah yang harus kita konstruksi, karena polanya melahirkan sistem pendidikan yang menuntut pada sikap kepatuhan, penerimaan dan ketaatan. Buku teks menjadi representasi utama dari pengetahuan. Guru menjadi pelaku yang menyampaikan pengetahuan dan ketrampilan serta memaksakan peraturan kepada murid. Pembelajaran model ini hanya dipahami sebagai proses memperoleh apa yang sudah terkumpul dalam buku-buku dan kepala yang lebih dewasa.[7] Sehingga dalam kondisi kekinian dibutuhkan terobosan yang mampu menjembatani antara kebutuhan diri (peserta didik) dan lingkungan, sedangkan guru bukan difahami sebagai sumber tapi menjadi fasilitator untuk mengeksplorasi potensi dan bakat peserta didik agar bisa maksimal dan bermanfaat untuk lingkungannya.
Menurut hemat penulis ada beberapa hal yang harus ditekankan dalam pendidikan itu sendiri agar bisa tercapai pada tujuan luhurnya, diantaranya pertama, harus ada desain kontekstual dalam pembelajarannya. Kedua, harus ada kurikulum khas yang dikembangkan, ketiga selanjutnya, lembaga sekolah harus mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan lokalitas. Missal; sekolah harusnya mampu merepresentasikan daerahnya, sehingga sekolah bukan hanya gedung dan tembok yang malah memisahkan ruang antara masyarakat sekitar dan siswa itu sendiri. Sehingga sekolah harus bisa meningkatkan bentuk sosialisasi yang mampu menerjemahkan diri (siswa) dalam konteks kebersamaan yang berbasis lokalitas kedaerahan.
Pada prinsipnya bila dianalisa secara luas menurut hemat penulis, ada lima pesan yang menjadi target mulia untuk mengembangkan kemampuan pribadi yang akan dicapai dari pelaksanaan model pendidikan yang berbasis kearifan lokal untuk masa depan, diantaranya yaitu :
1.                           Disciplined Mind (pribadi yang memiliki satu atau lebih disiplin ilmu).
2.                           Syinthesis Mind (pribadi yang mempunyai daya ramu pengetahuan), ini menjadi penting untuk bekal berkelanjutan di pendidikan berikutnya.
3.                           Creative Mind (pribadi yang memiliki daya cipta), menjadi penopang untuk menciptakan kreasi dalam pembelajaran yang mengedepankan nalar kontekstual.
4.                           Respectful Mind (pribadi yang memiliki rasa hormat) disinilah kelebihan dalam pengejawantahan nilai moralitas sehingga membentuk karakter santun yang bersifat aktif.
5.                           Ethical Mind (pribadi yang etis), merupakan aktualisasi individu yang menghasilkan nilai penghargaan akan ciptaanNya, sehingga menghasilkan rasa kepedulian dan tanggungjawab.

Pendidikan karakter menjadi sebuah integrasi antara knowledge dan skill, yang akan memberikan acuan pada landasan diri dan kepribadian.  Bukan dimaknai dalam ranah lahiriah ansich, sehingga  pemaknaan lebih implicit ditekankan pada moral yang berlandaskan pada nilai kebijaksanaannya. Missal bertaqwa, bertanggungjawab, disiplin, jujur,sopan, peduli, kerja keras, toleran bersikap baik, kreatif, mandiri, couriosity (rasa ingin tahu), menghargai dll.
Tentunya semua itu tidak mudah, semua harus dilandasi tekad sebagai bentuk ijtihad dari semua elemen pendukung.  Lebih dari itu upaya penanaman pendidikan berkarakter, berbasis kearifan local sebagai counter modernitas menuju bangsa yang luhur bukanlah suatu yang mustahil karena bila kita melihat kekuatan budaya kita. Semua menjadi mungkin tinggal bagaimana paradigma yang dibangun sebagai dasar pembaharuan agar pendidikan bukan sekedar pemenuhan status social, tetapi lebih dari itu. Pendidikan merupakan upaya menembus batas tradisi yang bersifat mondial  yang mengedepankan kearifan dan kebijaksanaan. Bahkan dalam tradisi jawa pendidikan merupakan “ngerti, ngroso lan nglakoni.  Bila itu direnungkan sangat dalam sekali dan menjadi bentuk karakter dasar yang menjiwai keluhuran bangsa.
Semoga kita semua dapat menyiapkan para generasi penerus bangsa untuk menjadi calon pemimpin masa depan yang memiliki karakter. Dari harapan tersebut prinsip, karakter dan  kemampuan intektual mampu berintegrasi yang tinggi dan cerdas dalam melihat perkembangan sejarah bangsa. Amien.


[1] Mansour Fakih, “Komodifikasi Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan”, dalam pengantar buku Francis X Wahono, Kapitalisme Pendidikan; Antara kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Insist Press, Cindelaras bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. xi
[2] Djohar, Masalah Pendidikan Strategik; Alternatif Untuk Masa Depan, Editor: Andy Dermawan, (Yogyakata: LESFI, 2003), hlm.138
[3] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm. 297
[4] Problem lingkungan yang sudah terjadi di semesta memang sangat komplek, akan tetapi jika diteliti secara seksama sebenarnya bersumber pada 5 aspek yaitu aspek dinamika kependudukan, pengembangan sumber daya alam dan energi, pertumbuhan ekonomi, perkembangan science dan teknologi dan benturan terhadap lingkungan. Kelima persoalan tersebut saling kait mengkait satu dengan lainnya sehingga menjadi problem serius. Lihat: M.T. Zein ed., Menuju Kelestarian Lingkungan, Gramedia, cet. II, Jakarta, 1980, hlm. 2 dst. Baca: Mujiono Abdillah, Disertasi, Teologi Lingkungan Islam, Program Pascasarjana (PPs) S.3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[5] Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manuisa dan Alam, (Yogyakarta: Icisod, 2003), hlm 29
[6] Keyakinan bahwa realitas yang ada hanya materi (fisik), untuk dapat diyakini adanya (eksistensi) segala sesuatu harus dapat diamati dan diukur.
[7] John Dewey, Experience and Education, dialih bahasakan oleh Hani’ah, Experience and Education  pendidikan berbasis pengalaman, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 4
*) Paper ini ditulis oleh Agus Thohir, :: Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Semarang Periode 2009-2010 dan Ketua Presidium Persatuan Organisasi Mahasiswa Semarang (POROS) Semarang Periode  2008-2010. Sekretaris Jendral Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) 2011-2013. ::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar